Kamis, 22 Oktober 2009

Dugderan Semarang

Dugderan Semarang

Menjelang datangnya bulan ramadhan, masyarakat Semarang memiliki tradisi yang di kenal dengan sebutan Dugderan.
Kata "dugderan" diambil dari kata bedug dan suara petasan yang berbunyi der. Dua kata ini digabungkan menjadi kata dugderan.
Tradisi dilaksanakan sebagai cara masyarakat Semarang menandai bahwa satu ramadhan sebagai bulan poso (puasa) telah tiba. Hingga sekarang ini tradisi dugderan masih dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang.
Sementara dugderan sendiri tidak bisa lepas dari simbol sebuah binatang yang disebut dengan warak ngendok. Yakni, binatang rekaan yang memiliki tubuh mirip jerapah karena berleher panjang, berkaki seperti esekor keledai atau kambing dan berwajah mirip naga. Dan dibawah awak binatang terdapat telur.
Konon, binatang rekaan ini sebagai simbulisasi keberagaman masyarakat Semarang yang terdiri dari berbagai macam etnis. Meski beragam etnis, mereka dalam satu kesatuan sebagai masyarakat Semarang. Di Semarang sendiri memang terdapat komunitas masyarakat Pecinan, Melayu (Bugis), Arab dan Jawa sebagai masyarakat asli Semarang.
Sedangkan nama "Warak" jika dikaitkan dengan semangat bulan puasa atau hikmah orang yang berpuasa adalah orang akan menjadi orang berderajat "waro". Artinya orang yang memiliki keluhuran batiniah dan rohaniah buah dari menjalankan puasa ramadhan sebulan penuh.

Perayaan dugderan diawali dengan sebuah upacara sebagaimana tempo dulu. Walikota Semarang memperagakan sebagai bupati Semarang yang memimpin acara tesebut hingga selesai. BUpati menerima sebuah laporan dari wakil alim ulama yang memberitahukan bahwa pada hari itu telah memasuki satu Ramadhan atau bulan puasa. Sebagai pertanda bahwa bulan Ramadhan telah tiba, maka bupati Semarang menabuh bedug berulang-ulang dan menyulut petasan super besar sehingga seantero Semarang mengetahui bahwa puasa telah tiba.

Hal lainnya sekitar perayaan dugderan. Alun-alun Masjid Kauman akan dipenuhi para pedagang dari berbagai daerah. Mereka mremo dugderan satu minggu menjelang dugderan. Sehingga suasana alun-alun masjid Kauman seperti pasar malem tiban. Bahkan pedagang melebar hingga di sepanjang Jalan pemuda, tepatnya di depan Swalayan Sri Ratu. Bila sudah demikian, maka sangat terasa antusias masyarakat Semarang menyabut datangnya bulan Ramadhan setiap tahunnya.
Praktis selama satu minggu itu, jalanan menuju arah jalan Pemuda menjadi macet. Karena alasan kenyamanan dan keamanan masyarakat berlalu lintas, pedagang yang mremo dugderan terpaksa berpindah-pindah tempat. Walikota Sukawi Sutarip, mengalihkan dugderan dari alun-alun Masjid Kauman, pedagang dipindahkan ke pinggiran polder tawang. Ternyata, lalu lintas dari arah Pemuda ke arah terboyo dan sebaliknya menjadi tersendat. Kemudian tahun berikutnya pedagang dugderan dialihkan lagi di lapangan arteri bagian dari Masjid Agung Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HTML http:www.Fathurohman69@yahoo.com>