Minggu, 25 April 2010

Semarang,
Pilwakot baru saja usai. Pesta demokrasi ini, berjalan adem - ayem, nyaris tidak ada gejolak. Masyarakat pemilih, ternyata mengikuti Pilwakot dengan perasaan dingin. TPS-TPS nampak lengang. Penghitungan suara , tidak ada suara hiruk pikuk antar para pendukung cawali. Mereka pasrah. Siapapun yg menang dan menjadi walikota, tidak begitu dipersoalkan. Jadi terkesan luweh-luweh. Mereka hanya punya secuil harapan yg penting bisa mengayomi masyarakat. Mereka tidak bisa berharap banyak, walikota baru akan mampu memberi pencerahan kehidupan masyarakat secara mendasar.
Warga yg terkena kebijakan penggusuran , mereka lebih memilih diam dan tidak menggunakan hak pilihnya. Mereka seakan yakin, pemerintah kota semarang, siapapun walikotanya tidak bakal akan membela dan mengayomi dirinya dari penggusuran.
Pilwakot tahun ini, marak dengan money politik. Malah sudah terkesan fulgar. Tim sukses tingkat kelurahan, rw dan rt sudah terang2an membagi sembako atau duit pada warga. Warga juga tidak takut dan sungkan lagi menerima duit politik itu. Jadi, ketika di TPS, masing2 warga sudah saling tahu. Misal, si A masuk TPS dpt dipastikan milih cawali urutan 10.
Mereka yg tidak tampak di TPS akan disambangi para tim sukses dikasih duit dan milih sesuai kehendak si pemberi duit politik.
Kalau salah satu keluar jadi pemenang, kemudian yg kalah mengapresiasi kekalahannya dengan menuduh terjadi money politik, sebenarnya tidak salah. Persoalannya, apa calon yg kalah itu, tidak melakukan money politik? bohong, jika tidak melakukan praktek money politik.